salam


Sabtu, 26 Oktober 2013

Banyuwangi



BANYUWANGI LARE OSING
 

Banyuwangi adalah kabupaten terluas di Jawa Timur. Karakter wilayah yang terletak di ujung paling timur pulau Jawa ini juga menarik untuk di ketahui selain wilayah tapal kuda dan wilayah arek yang dikenal dengan sebutan “Lare Osing.
Suku Osing adalah penduduk asli Banyuwangi dan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Suku Osing merupakan perpaduan budaya dan tradisi yang ada di Banyuwangi dan dikenal dengan istilah Negeri Belambangan. Osing bukan istilah yang dipakai untuk menyebut penduduk keseluruhan Kabupaten Banyuwangi. Suku Osing terdapat hanya di bagian tengah dan bagian utara Kabupaten Banyuwangi, terutama di Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Rogojampi, Kecamatan Glagah dan Kecamatan Singojuruh, Kecamatan Giri, Kecamatan Kalipuro, dan Kecamatan Songgon.
Ada tiga elemen masyarakat yang secara dominan membentuk stereotype karakter Banyuwangi yaitu Jawa Mataraman, Madura-Pandalungan (Tapal Kuda) dan Osing. Persebaran tiga entitas ini bisa ditelisik dengan karakter wilayah secara geografis yaitu Jawa Mataraman lebih banyak mendominasi daerah pegunungan yang banyak hutan seperti wilayah Tegaldlimo, Purwoharjo, Bangorejo dan Tegalsari. Sedangkan masyarakat Madura lebih dominan di daerah gersang seperti di kecamatan Wongsorejo, Muncar dan Glenmore. Sementara masyarakat Osing sendiri dominan di wilayah subur di sekitar Banyuwangi kota, Giri, Glagah, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring dan Genteng. Meski masyarakat yang ada di Banyuwangi ini terdiri dari berbagai elemen dari entitas yang berbeda, namun sangat adaptif, terbuka dan kreatif terhadap unsur kebudayaan lain hingga memungkinkan banyak sekali adanya akulturasi, salah satu hasil dari akulturasi budaya tersebut adalah bahasa Osing. Karakter egaliter menjadi ciri yang sangat dominan dalam masyarat Osing. Ini tampak dalam bahasa Osing yang tidak mengenal tingkatan bahasa seperti bahasa Jawa atau bahasa Madura. Struktur masyarakat Osing pun tidak berorientasi pada priayi seperti orang Jawa juga tidak pada kyai seperti orang Madura dan tidak juga pada Ksatria seperti kasta orang Bali .
BAHASA SUKU OSING
Bahasa Osing mempunyai keunikan dalam sistem pelafalannya, antara lain: · Adanya diftong [ai] untuk vokal [i] : semua leksikon berakhiran "i" pada bahasa Osing khususnya Banyuwangi selalu terlafal "ai". Seperti misalnya "geni" terbaca "genai", "bengi" terbaca "bengai", "gedigi" (begini) terbaca "gedigai".· Adanya diftong [au] untuk vokal [u]: leksikon berakhiran "u" hampir selalu terbaca "au". Seperti "gedigu" (begitu) terbaca "gedigau", "asu" terbaca "asau", "awu" terbaca "awau".· Lafal konsonan [k] untuk konsonan [q]. Di Bahasa Jawa, terutama pada leksikon berakhiran huruf "k" selalu dilafalkan dengan glottal "q". Sedangkan di Bahasa Osing, justru tetap terbaca "k" yang artinya konsonan hambat velar. antara lain "apik" terbaca "apiK", "manuk", terbaca "manuK" dan seterusnya. · Konsonan glotal [q] yang di Bahasa Jawa justru tidak ada seperti kata [piro'], [kiwo'] dan demikian seterusnya. · Palatalisasi [y]. Dalam Bahasa Osing, kerap muncul pada leksikon yang mengandung [ba], [pa], [da], [wa]. Seperti "bapak" dilafalkan "byapak", "uwak" dilafalkan "uwyak", "embah" dilafalkan "embyah", "Banyuwangi" dilafalkan "byanyuwangai", "dhawuk" dibaca "dyawuk".Dari ciri vonologis di atas dapat terlihat perbedaan dengan pengucapan dalam Bahasa Jawa modern. Meski ada kesamaan secara kosakata, namun cara pengucapan yang berbeda terkadang membuat orang yang biasa berbahasa Jawa tak mengerti ketika mendengar ucapan dalam Bahasa Using (Priantono, 2005). Perbedaan inilah yang menjadi salah satu penciri Bahasa Using dari Bahasa Jawa. Meski sama-sama berasal dari akar Bahasa Jawa Kuno, ada perbedaan yang menghasilkan Bahasa Osing sebagai bahasa yang berdiri sendiri. Ciri khas lain dari bahasa Osing adalah dalam gaya penggunaan. Tidak seperti Bahasa Jawa yang mengenal unggah-unggahan bahasa seperti Ngoko, Kromo, dan seterusnya, Dalam Bahasa Osing tidak ditemukan hal serupa. Yang ada hanya gaya bahasa berbeda untuk situasi yang berbeda, bukan karena status sosial. Selain itu, ada pula perbedaan penggunaan pronomina (kata sapaan) untuk orang dengan umur atau kedudukan yang berbeda, sekali lagi bukan karena status sosialnya. Cara penggunaan pronomina yang berbeda itu dapat dilihat di bawah ini:
§ Siro wis madhyang? = kamu sudah makan?
 § Riko wis madhyang? = anda sudah makan?
Hiro/Iro = digunakan/lawan bicara untuk yang lebih muda(umur)  Siro = digunakan/lawan bicara untuk yang selevel(umur)  Riko = digunakan/lawan bicara untuk yang diatas kita (umur)  Ndiko = digunakan/lawan bicara untuk orang tua (bapak/ibu)
Bahasa Osing mempunyai banyak kesamaan dan memiliki kosakata Bahasa Jawa Kuno yang masih tertinggal. Namun di wilayah Banyuwangi sendiri terdapat variasi penggunaan dan kekunaan juga terlihat di situ. Varian yang dianggap Kunoan terdapat utamanya diwilayah Giri, Glagah dan Licin, dimana bahasa Osing di sana masih dianggap murni. Sedangkan Bahasa Osing di Kabupaten Jember telah banyak terpengaruh bahasa Jawa dan Madura. Serta pelafalan yang berbeda dengan Bahasa Osing di Banyuwangi.
 KESENIAN BANYUWANGI SUKU USING
Selain terkenal bahasanya yang unik, di Banyuwang Suku Using juga mempunyai berbagai kesenian lokal antara lain kesenian Gandrung, kesenian Janger, kesenian Kuntulan dan kesenian Seblang Olehsari.  Maka tak asing jika Banyuwangi terkenal dengan berbagai macam kebudayaan. Saya sebagai mahasiswi yang cinta Banyuwangi, ingin lebih melestarikan budaya-budaya yang ada di Banyuwangi.
 

Selasa, 22 Oktober 2013

TRADISI TAKBIR KELILING



Tradisi Takbir Keliling Menyambut Hari Raya Idul Adha di Desa Wringin Pitu, Kecamatan Tegaldlimo, Banyuwangi


 Tradisi adalah kebiasaan yang diwariskan dari satu generasi kegenerasi berikutnya, secara turun temurun kebiasaan yang diwariskan mencakup berbagai nilai budaya yang meliputi adat istiadat, sistem kemasyarakatan, sistem pengetahuan, kesenian, dan nilai budaya yang menjadi pedoman bertingkah laku, bagi warga masyarakat[1]
Takbir adalah seruan atau ucapan Allahu Akbar 'Allah Mahabesar': menjelang Idulfitri dan Idhuladha orang mengumandangkan takbiran dan pujian kepada Allah dengan menyerukan takbir .
Dari judul diatas  mengenai Tradisi Takbir Keliling Menyambut Hari Raya Idul Adha, yang dilakukan oleh masyarakat Banyuwangi khususnya masyarakat Desa Wringinpitu. Penulis akan memberikan fieldwork, yang sudah penulis teliti.
 Pada tanggal 15 Oktober 2013 bertepatan dengan malam hari Raya Idhul Adha, suasana Desa Wringinpitu begitu ramai dengan arak-arakan atau takbir keliling yang dilaksanakan oleh warga setempat, acara ini dimeriahkan oleh beberapa atraksi dan hiburan. Acara ini diawali dengan berkumpulnya para masyarakat yang mengikuti takbir keliling mereka berkumpul di halaman Masjid Jami’ Darussalam Wringinpitu, sebelum memulai takbir keliling, acara ini diisi dengan pembukaan dan sambutan-sambutan dari kepala Desa serta pengurus dan panitia yang ikut menyelenggarakan acara tersebut.  Mereka juga diberi araha oleh pemuka agama atau Kyai yaitu Bapak Muh Toha. mereka dihimbau untuk berhati-hati dan melaksanakan takbir keliling dengan tertib, tidak boleh berdesak-desakan, harus sesuai dengan urutan nomer yang sudah diberikan kepada masing-masing kelompok. Dalam acara ini semua peserta takbir kliling berjalan dengan perlahan-lahan dengan mengumandangkan Takbir ( Allahhu Akbar 3X) mengelilingi Desa Wringinpitu, Dusun Bayatrejo dan Dusun Krajan. Takbir keliling dimeriahkan oleh banyak kalangan, antara lain jama’ah yasinan bapak-bapak, jama’ah yasinan ibuk-ibuk, ibu-ibu Pkk, anak-anak TPQ, TPA, SD, MI dan kalangan pemuda Remas.
Tidak kalah hebohnya dalam acara takbir keliling menyambut hari raya id, semua peserta menghiasi kendaraannya dengan ornamen-ornamen dan hiasan yang mewah, ada yang menghiasi kendaraannya dengan ornamen Unta yang terbuat dari gabus seperti zaman Nabi, menghiasi dengan Masjid yang diberi ornamen beberapa ekor kambing, dan menghiasinya dengan lampu warna warni, sehingga terkesan sangat mewah bila di tonton. Bukan hanya itu saja, peserta juga berdandan layaknya Nabi Ibrahim, Siti Hajar dan Nabi Ismail yang sangat memukau. Mereka juga berlomba-lomba mengumandangkan lafadz Takbir dengan suara yang merdu yang dipimpin oleh ketua dari peserta tersubut, sesekali salah satu dari mereka melantunkan takbir yang panjang seperti:
          اللهُ اكبَرُ- اللهُ اَكْبَرُ- اللهُ اكبَرُ لااِلهَ الااللهُ وَاللهُ اكبَرُاَللهُ اكبَرُ وَللهِ الحَمْد
اللهُ اكبَر كَبيْرًا والحَمدُ للهِ كثِيرًا وَسُبحَانَ اللهِ بُكرَةً واَصِيلا, لااله اِلااللهُ ولانعْبدُ الاإيّاه, مُخلِصِينَ لَه الدّ يْن, وَلَو كَرِهَ الكَا فِرُون, وَلَو كرِهَ المُنَافِقوْن, وَلَوكرِهَ المُشْرِكوْن, لاالهَ اِلا اللهَ وَحدَه, صَدَق ُوَعْدَه, وَنَصَرَ عبْدَه, وَأعَزّجُندَهُ وَهَزَمَ الاحْزَابَ وَاحْدَه, لاالهَ اِلاالله وَاللهُ اَكبر, اللهُ اكبَرُ وَِللهِ الحَمْد
Menurut Pak Lukman selaku Panitian dari acara tersebut mengatakan, bahwasanya tradisi Takbir Keliling ini dilakukan setiap Tahun menjelang Idul Fitri dan Idul Adha, bila sekali tidak diadakan acara seperti ini, maka sangat kurang istimewa dalam menyambut bulan yang penuh berkah, maka dari itu sebisa mungkin acara Takbir keliling selalu diadakan. Apalagi acara ini sangat didukung oleh warga setempat, bahkan warga dari Desa lain pun ikut merayakan acara ini, seperti Desa kampung loro, dan Sidorjo. Yang lebih menarinya lagi dalam takbir keliling ini, diadakan suatu perlombaan dari masing-masing kelompok, yang mana semakin membuat antusias warga untuk mengikutinya. Dalam perlombaan takbir keliling masing-masing juara akan mendapat hadiah berupa Bedug, Karpet, Kipas Angin dan lain sebagainya.
            Setelah berjalan mengelilingi Desa, acara ini berakhir dengan berkumpulnya para peserta di halaman Masjid jami’ Darussalam, untuk menunggu hasil pengumuman pemenang takbir keliling, sesudah pengumuman itu di umumkan beserta pembagian hadiah, maka acara ini ditutup dengan Do’a yang dipimpin oleh Kyai setempat. Acara takbir keliling tidak berakhir begitu saja, masyarakat tidak bergegas langsung pulang kerumahnya masing-masing, akan tetapi mereka menyalakan Mercon dan kembang api bersama-sama menjadi satu, sehingga suasana Desa Wringin Pitu menjadi indah dengan hiasan-hiasan kembang Api.


[1] Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1991), 414.