salam


Rabu, 18 September 2013

Banyuwangi Lare Osing



BANYUWANGI LARE OSING
Banyuwangi adalah kabupaten terluas di Jawa Timur. Karakter wilayah yang terletak di ujung paling timur pulau Jawa ini juga menarik untuk di ketahui selain wilayah tapal kuda dan wilayah arek yang dikenal dengan sebutan “Lare Osing.
Suku Osing adalah penduduk asli Banyuwangi dan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Suku Osing merupakan perpaduan budaya dan tradisi yang ada di Banyuwangi dan dikenal dengan istilah Negeri Belambangan. Osing bukan istilah yang dipakai untuk menyebut penduduk keseluruhan Kabupaten Banyuwangi. Suku Osing terdapat hanya di bagian tengah dan bagian utara Kabupaten Banyuwangi, terutama di Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Rogojampi, Kecamatan Glagah dan Kecamatan Singojuruh, Kecamatan Giri, Kecamatan Kalipuro, dan Kecamatan Songgon.
Ada tiga elemen masyarakat yang secara dominan membentuk stereotype karakter Banyuwangi yaitu Jawa Mataraman, Madura-Pandalungan (Tapal Kuda) dan Osing. Persebaran tiga entitas ini bisa ditelisik dengan karakter wilayah secara geografis yaitu Jawa Mataraman lebih banyak mendominasi daerah pegunungan yang banyak hutan seperti wilayah Tegaldlimo, Purwoharjo, Bangorejo dan Tegalsari. Sedangkan masyarakat Madura lebih dominan di daerah gersang seperti di kecamatan Wongsorejo, Muncar dan Glenmore. Sementara masyarakat Osing sendiri dominan di wilayah subur di sekitar Banyuwangi kota, Giri, Glagah, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring dan Genteng. Meski masyarakat yang ada di Banyuwangi ini terdiri dari berbagai elemen dari entitas yang berbeda, namun sangat adaptif, terbuka dan kreatif terhadap unsur kebudayaan lain hingga memungkinkan banyak sekali adanya akulturasi, salah satu hasil dari akulturasi budaya tersebut adalah bahasa Osing. Karakter egaliter menjadi ciri yang sangat dominan dalam masyarat Osing. Ini tampak dalam bahasa Osing yang tidak mengenal tingkatan bahasa seperti bahasa Jawa atau bahasa Madura. Struktur masyarakat Osing pun tidak berorientasi pada priayi seperti orang Jawa juga tidak pada kyai seperti orang Madura dan tidak juga pada Ksatria seperti kasta orang Bali .
BAHASA SUKU OSING
Bahasa Osing mempunyai keunikan dalam sistem pelafalannya, antara lain: · Adanya diftong [ai] untuk vokal [i] : semua leksikon berakhiran "i" pada bahasa Osing khususnya Banyuwangi selalu terlafal "ai". Seperti misalnya "geni" terbaca "genai", "bengi" terbaca "bengai", "gedigi" (begini) terbaca "gedigai".· Adanya diftong [au] untuk vokal [u]: leksikon berakhiran "u" hampir selalu terbaca "au". Seperti "gedigu" (begitu) terbaca "gedigau", "asu" terbaca "asau", "awu" terbaca "awau".· Lafal konsonan [k] untuk konsonan [q]. Di Bahasa Jawa, terutama pada leksikon berakhiran huruf "k" selalu dilafalkan dengan glottal "q". Sedangkan di Bahasa Osing, justru tetap terbaca "k" yang artinya konsonan hambat velar. antara lain "apik" terbaca "apiK", "manuk", terbaca "manuK" dan seterusnya. · Konsonan glotal [q] yang di Bahasa Jawa justru tidak ada seperti kata [piro'], [kiwo'] dan demikian seterusnya. · Palatalisasi [y]. Dalam Bahasa Osing, kerap muncul pada leksikon yang mengandung [ba], [pa], [da], [wa]. Seperti "bapak" dilafalkan "byapak", "uwak" dilafalkan "uwyak", "embah" dilafalkan "embyah", "Banyuwangi" dilafalkan "byanyuwangai", "dhawuk" dibaca "dyawuk".Dari ciri vonologis di atas dapat terlihat perbedaan dengan pengucapan dalam Bahasa Jawa modern. Meski ada kesamaan secara kosakata, namun cara pengucapan yang berbeda terkadang membuat orang yang biasa berbahasa Jawa tak mengerti ketika mendengar ucapan dalam Bahasa Using (Priantono, 2005). Perbedaan inilah yang menjadi salah satu penciri Bahasa Using dari Bahasa Jawa. Meski sama-sama berasal dari akar Bahasa Jawa Kuno, ada perbedaan yang menghasilkan Bahasa Osing sebagai bahasa yang berdiri sendiri. Ciri khas lain dari bahasa Osing adalah dalam gaya penggunaan. Tidak seperti Bahasa Jawa yang mengenal unggah-unggahan bahasa seperti Ngoko, Kromo, dan seterusnya, Dalam Bahasa Osing tidak ditemukan hal serupa. Yang ada hanya gaya bahasa berbeda untuk situasi yang berbeda, bukan karena status sosial. Selain itu, ada pula perbedaan penggunaan pronomina (kata sapaan) untuk orang dengan umur atau kedudukan yang berbeda, sekali lagi bukan karena status sosialnya. Cara penggunaan pronomina yang berbeda itu dapat dilihat di bawah ini:
§ Siro wis madhyang? = kamu sudah makan?
 § Riko wis madhyang? = anda sudah makan?
Hiro/Iro = digunakan/lawan bicara untuk yang lebih muda(umur)  Siro = digunakan/lawan bicara untuk yang selevel(umur)  Riko = digunakan/lawan bicara untuk yang diatas kita (umur)  Ndiko = digunakan/lawan bicara untuk orang tua (bapak/ibu)
Bahasa Osing mempunyai banyak kesamaan dan memiliki kosakata Bahasa Jawa Kuno yang masih tertinggal. Namun di wilayah Banyuwangi sendiri terdapat variasi penggunaan dan kekunaan juga terlihat di situ. Varian yang dianggap Kunoan terdapat utamanya diwilayah Giri, Glagah dan Licin, dimana bahasa Osing di sana masih dianggap murni. Sedangkan Bahasa Osing di Kabupaten Jember telah banyak terpengaruh bahasa Jawa dan Madura. Serta pelafalan yang berbeda dengan Bahasa Osing di Banyuwangi.
 KESENIAN BANYUWANGI SUKU USING
Selain terkenal bahasanya yang unik, di Banyuwang Suku Using juga mempunyai berbagai kesenian lokal antara lain kesenian Gandrung, kesenian Janger, kesenian Kuntulan dan kesenian Seblang Olehsari.  Maka tak asing jika Banyuwangi terkenal dengan berbagai macam kebudayaan. Saya sebagai mahasiswi yang cinta Banyuwangi, ingin lebih melestarikan budaya-budaya yang ada di Banyuwangi.