salam


Minggu, 10 Juni 2012

tarekat


PEMBAHASAN

A.    Makna Tareka
Dalam kajian tasawuf, ada dua model, pertama ialah: tasawuf  falsafi, dan yang kedua ialah tasawuf ‘amali. Tasawuf ‘amali inilah yang disebut juga tarekat, yang sebenarnya adalah jalan. Yakni system latihan meditasi ataupun amalan-amalan yang dihubungkan dengan sejumlah guru tarekat. Tarekat juga berarti suatu organisasi yang berkembang seputar metode sufi yang memiliki ciri-ciri khas. Tarekat biasa dikatakan dengan berusa mensucikan batin, kekeluargaan tarekat, upacara keagamaan dan kesadaran social. Pensucian batin adalah mensucikan jiwa dengan melatih rohani dengan hidup zuhud, menghilangkan sifat-sifat buruk yang menyebabkan dosa, mengisi dengan sifat-sifat terpuji, menjalani perintah agama, menjauhi larangan agama, bertaubat atas dosa-dosa dengan intropeksi diri dan mawas diri terhadap amalan.
Tarekat (Bahasa Arab: طرق, transliterasi: Tariqah) berarti "jalan" atau "metode", dan mengacu pada aliran kegamaan tasawuf atau sufisme dalam Islam. Ia secara konseptual terkait dengan ḥaqīqah atau "kebenaran sejati", yaitu cita-cita ideal yang ingin dicapai oleh para pelaku aliran tersebut. Seorang penuntut ilmu agama akan memulai pendekatannya dengan mempelajari hukum Islam, yaitu praktik eksoteris atau duniawi Islam, dan kemudian berlanjut pada jalan pendekatan mistis keagamaan yang berbentuk ṭarīqah. Melalui praktik spiritual dan bimbingan seorang pemimpin tarekat, calon penghayat tarekat akan berupaya untuk mencapai ḥaqīqah (hakikat, atau kebenaran hakiki).[1]
B.     Asal-usul Gerakan Tarekat di Indonesia
      Tarekat bermula dari Gujarat,India, ketika para murid Indonesia di Aceh belajar tarekat disana. Hamzah al-fansuri dan syamsudin al-sumatrani belajar dari Gujarat, juga Ar-Raniri. Mereka mengajarkan tarekat di Indonesia. Dan mereka menjadi ulama terkemuka di Aceh pada abad 16 dan 17, Aceh yang terletak di paling ujung pulau Sumatra, merupakan wilayah penghasil lading dari mereka, dan yang terpenting perdagangan Internasional, menjadi salah satu kerajaan Islam yang sangat kuat pada rentang waktu tersebut.[2]   
      Dari sanalah tersebar luas ajaran tarekat di Nusantara, maka berkembanglah beberapa gerakan-gerakan tarekat, Seperti: Tarekat Qodariyah, Syadziliyah, dan Naqsyabandiyah.


C.     Gerakan  Tarekat di Indonesia

1.      Gerakan Tarekat Qodariyah
Qodariyah adalah nama Tarekat yang diambil dari nama pendirinya, yaitu ‘Abd al-Qadir Jilani, yang terkenal dengan sebutan Syaikh ‘Abd al-Qodir Jilani al-hgaswsts atau quthb al-awaliya’. Tarekat ini menempati posisi paling penting dalam sejarah spiritualitas Islam karena tidak saja sebagai pelapor lahirnya organisasi tarekat, tetapi juga cikal bakal munculnya pelapor lahirnya organisasi tarekat, tetapi juga cikal bakal munculnya berbagai cabang tarekat di dunia Islam.
Syaikh ‘Abd al-Qodir lahir di desa Naif kota Gilan tahun 470/1077, yaitu wilayah yang terletak 150 km timur laut Bagdad. Ibunya seorang yang saleh bernama Fatimah binti ‘Abdullah al-Shama’I al-Husayni, ketika melahirkannya ibunya berumur 60 tahun. Syaikh ‘Abd al-Qadar meninggal di Bagdad pada tahun 561/1166. Makamya sejak dulu hingga sekarang tetap diziarahi khalayak ramai, dari segala penjuru dunia.
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad ‘Abd al-Qodir Jilani ibn Abi Shalih ibn Musa ibn Janki Dusat ibn Abi Abdillah ibn Yahya al-Zahid ibn Muhammad ibn Dawut ibn Musa ibn ‘Abd Allah al-Mahdi ibn Hasan al-Musana ibn Hasan al-Sibthi ‘Ali ibn Abi Thalib dan Fathimah al-Zahra al-Batul binti Rasulullah.[3]
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.
Ada indikasi bahwa tarekat Qodariyah bertahan di Aceh setelah Hamzah. Ketika Syaik Yusuf Makassar singgih di Aceh dalam perjalananya dari Sulawesi ke Makkah, sekitar tahun 1645, ia masuk tarekat Qodariah disana, lalu dikembangkan di Aceh setelah kepulangannya dari Makkah.[4]
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri,"Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.
Untuk mencapai kategori manusia tertinggi menurut ‘Abd Qodir-Jilani harus mengalami empat tahap perkembangan sepiritual. Tahap pertama: orang yang menyakini Tuhan dengan totalitas dan menjalankan ajaran agama yang baik, tanpa npertolongan siapapun. Tahap kedua: ketika seseorang sudah mendekati kesucian hati maka bias dijelaskan dalam dua hal yaitu orang yang berusaha memenuhikebutuhan dasarnya tetapi menahan diri dari kehidupan yang hedonistic, dan orang mengikuti suari hati yang selalu melintasi dirinya. Tahap ketiga: keadaan tawakal. Tahap keempat: keadaan fana. Di Indonesia tarekat Qodariyah berkembang dengan baik, bahkan bercabang, seperti Tarekat Qodariyah wa Naqsyahbandiyah yang dipelapori oleh syaikh Sambas.
Ø  Aspek Ajaran
            Pada dasarnya ajaran Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani tidak ada perbedaan yang mendasar dengan ajaran pokok Islam, terutama golongan Ahlusunnah waljama’ah. Sebab syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani adalah sangat menghargai para pendiri madzab fiqih yang empat, beliau sangat menekankan pada tauhid dan akhlak yang terpuji. Adapun spiritual Syaikh ‘Abd al-Qadir berakar pada konsep tentang dan pengalamamnya akan Tuhan. Baginya, Tuhan dan tauhid bukanlah suatu mitos teologis maupun abstrak logis, melainkan sebuah pribadi yang kehadiranya merengkuh seluruh pengalaman etis, intelektual, dan estetis seorang manusia. Ia selalu merasakan bahwa Tuhan selalu hadir. Kesadaranya akan kehadiran Tuhan disegenap ufuk kehidupannya merupakan tuntutan dan motif bagi bangunan hidup yang aktif sekaligus memberikan nilai trasenden bagi kehidupan.
            Ajaran Syaikh ‘Abd al-Qadir selalu menekankan pada kesucian diri dari hawanafsu dunia. Karena itu beliau memberikan beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang tertinggi. Adapun beberapa ajaran tersebut ialah Tubat, Zuhud, Syukur, Ridho dan Jujur.[5]

Ø  Proses penyebaran
                  Martin Van Bruinessen mengatakan sekitar tahun 1300 Tarekat Qodariyah sudah mapan di Irak dan Syiria, tetapi masih kecil dan belum disebarluaskan keluar wilayah ini. Baru satu abad kemudia tarekat ini masuk anak benua India untuk pertama kalinya lalu berkembang hingga ke daerah India. Di Indialah tarekat Qodariya berkembang yaitu di Gujarat(India bagian Barat). Lalu tarekat Qodariyah menyebar ke Indonesia yang dibawa oleh seorang penyair Hamzah Fansuri. Dan beliaupun mengajarkan pertama kalinya di Aceh, disitulah tarekat Qodariyah berkembang, dan dilanjutkan oleh syeikh ‘Abd Qodir Jilani.
2.    Gerakan Tarekat Syadziliyah
Tarekat Syadziliyah tak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni Abu al-Hasan al-Syadzili. Selanjutnya nama tarekat ini dinisbahkan kepada namanya Syadzili yang mempunyai ciri khusus yang berbeda dengan tarekat-tarekat yang lain.
Secara lengkap nama pendirinya adalah ‘Ali bin Abdullah bin ‘Abd Al-Jabbar Abu al-Hasan al-Syadzili. Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan orang-orang garis keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dengan demikian berarti juga keturunan Siti Fatimah, anak perempuan Nabi Muhammad SAW. Al-Syadzili sendiri pernah menuliskan silsilah keturunanya sebagai berikut: ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abd. Jabbar bin Yusuf bin Ward bin Batthal bin Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa bin Muhammad bin Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib.
Pendidikanya dimulai dari kedua orang tuanya, dan kemudian dilanjutkan ke pendidikan lebih lanjut, yang mana diantara guru kerohanianya yaitu: ulama besar ‘Abd al-Salam Ibn Masyisy yang dikenal sebagai Quthb dari Quthb para wali seperti halya Syaikh ‘Abd Qadir al-Jilani. Setelah al-Syadzaili belajar beberpa lamanya di Tunis, ia pergi ke negara-negara Islam sebelah timur.
Al-Syadzili dipandang sebagai seorang wali yang keramat. Makamnya banyak dikunjungi oleh orang-orang, selain itu Al-Syadzili juga berpendirian bahwa ilmu agama itu sangat penting, dan perlu dimiliki untuk menjaga diri dari kesesatan dan membantu mendekatkan diri kepada Allah. Beliau merupakan pelindung dan penjelas yang gamblang atas pemikiran-pemikiran yang tak sengaja dan bisa menggangu jiwa.
Sedangkan dalam fiqih Al-Syadzili mengikuti faham Maliki. Faham ini sangat berdominan di daerah Magrib sepanyol, dinasti Murobhitun. Beliau menganut faham ini dan mempratikkan secara kaku dan konservatif.

Ø  Aspek Ajaran
               Tarekt Syadziliyah adalah salah satu tarekat yang besar di samping Tarekat Qodariyah. Trekat Syadziliyah adalah tarekat yang paling layak disejajaran dengan Tarekat Qodariyah dalam hal penyebarannya. Ibn Athaillah mengemukakan bahwa Asyadzili adalah orang yang ditetapkan oleh Allah SWT. Sebagai pewaris Nabi Muhammad SAW. bahwasanya peranan Asyadzili melalui karmah-karamahnya yang selanjutnya akan menunjukan posisi sebagai proses spiritual (quthb) alam semesta.
               Aspek mengajarnya dengan mengunakan metode Hizib. Hizib yang diajarkan pada Tarekat Syadziliyah antara lain hizb al-asyfa’, hizb al-kafi, hizib al-bahar dan hizb al-baladiyah, tarekat ini lah yang diajarkan kepada para murid-muridnya. Selain itu tarekat asyadziliyah juga mengajarkan tentang Zuhud dan Syukur.
Ø  Proses Penyebaran
               Berdasarkan ajaran yang diturunkan al-Syadzili kepada murid-muridnya, kemudian terbentuklah tarekat yang disahkan kepadanya, yaitu tarekat syadziliyah. Tarekat ini berkembang pesat di Tunisia, Mesir, Aljazair, sudan, Suria, dan semenanjng Arab juga di Indonesia khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
               Prosese penyebaran tarekat ini memulai keberadaannya dibawah salah sat dinasti Muwahidun, yakni Hafyyah dan Tunisia, lalu tarekat ini berkembang dan tumbuh subur dimesir dan dibawa ke daerah-daerah lain oleh murid-murid asyadzili hingga kepelosok Nusantara.[6]
3. Gerakan Tarekat Naqsyabandiyah
                     Pendiri tarekat Naqsyabandiyah adalah seorang pemuka tasawuf terkenal yaitu Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandiyah (717H/1318M-791H/1389M), dilahirkan disebuah Desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari bukhara tempat lahir Imam Bukhari. Beliau berasal dari keluarga dan lingkungan yang baik, dan beliau mendapat gelar syah yang menunjukkan posisinya yang penting sebagai seorang pemimpin spiritual. Setelah beliau lahir langsung dibawa oleh ayahnya kepada Baba al-Samasi yang menerimanya dengan gembira, dan dsitulah beliau belajar ilmu Tasawuf kepada Baba al-samasi ketika berusia 18 tahun. Lalu beliau belajar ilmu tarekat kepada seorang Quthb di Nasaf yaitu Amir sayyid kulal al-Bukhari.
Ø  Penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah ke Seluruh Pelosok Nusantara
               Tarekat Naqsyabandiyah yang menyebar di nusantara berasal dari pusatnya di Makkah, yang dibawa oleh para pelajar di Indonesia yang belajar di sana dan oleh para jemaah haji Indonesia. Mereka ini kemudian memperluas dan menyebarkan tarekat ini keseluruh pelosok nusantara.
               Muhammad Yusuf adalah seorang dari kepulauan Riau yang pertama naik haji ke Makkah. Beliau telah dibaiat masuk kedalam tarekat Naqsyabandiyah oleh Syaikh Muhammad Shalih al-Zawawi. Tarekat Naqsyabandiyah banyak menyebar ke daerah Pontianak, minangkabau , Sulawesi, Sumatra, Jawa Tengah, dan Madura.
Ø  Aspek Ajaran
        Tarekat Naqsyabandiyah seperti tarekat yang lainnya mempunyai beberapa tata cara peribadatan, teknik spiritual, dan ritual tersendiri.sebagai tarekat yang terorganisir, Naqsyabandiyah mempunyai sejarah dalam rentangan masa hamper enam abad.[7]
        Adapun ajaran dasar tarekat Naqsyabandiyah menurut Naj muddin Amin Al-Kurdi sebagai berikut:
1.      Husy dar dam: sadar sewaktu bernafas
2.      Nazar bar qadam: menjaga langkah
3.      Safar dan Watan: melakukan perjalanannya di tanah kelahirannya, maksudnya melakukan perjalanan batin dengan meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikat sebagai mahluk yang mulia.
4.      Khalawar dar anjuman: berkhalwat itu ada dua:
a)      Khalwat Lahir yakni orang yang bersuluk mengasingkan diri kesebuah tempat tersisih dari masyarakat ramai
b)      Khalawat Batin: sesudah mata hati menyaksikan rahasia kebesaran Allah dalam pergaulan  sesama makhluk.
5.      Ya dakrad: ingat atau menyebut maksudnya berzikir terus mengingat Allah.[8]
               Selain ajaran diatas Tarekat Naqsyabandiyah juga mengunakan ajaran Zikir. Zikir adalah berulang-ulang menyebut nama Allah atau menyatakan kalimah Lailaha illa Allah, dengan tujuan untuk mencapai kesadaran akan Allah yang lebih langsung dan permanen. Bagi penganut tarikat Naqsyabandiyah zikir ini dilakukan terutama dzikr khafi (diam, bersembunyi).
               Tarikat Naqsyabandiyah mempunyai dua macam zikir yaitu
1)Zikir Ism al-dzat: mengingat nama yang Hakiki dengan mengucap nama Allah berulang-ulang dalam hati.
2)Zikir tauhid: membaca zikir dengan perlahan-lahan diiringi dengan pengaturan nafas, dengan menyebut kalimat La ilaha illah Allah.[9]


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Tarekat

[2] Martin Van Bruinessen. Kitab Kuning. Cet III. Bandung: Mizan. 1999. Hal 190.
[3] Sri Mulyati. Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: kencana. 2006. Hal 27-28.
[4] Martin Van Bruinessen. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan. 1999. Hal 207.
[5] Sri Mulyati. Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: kencana. 2006. Hal 30-36.
[6] Ibid hal.57-76.
[7] Ibid hal.97-102.
[8] Fuad Said. Hakikat Tarikat Naqsyabandiyah. Jakarta: Pustaka Alhusna. 1994. Hal.47-48.
[9] Ibid hal. 106.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar